Tanah
Karo terbentuk sebagai Kabupaten Daerah Tingkat II setelah melalui
proses yang sangat panjang dan dalam perjalanan sejarahnya Kabupaten ini
telah mengalami perubahan mulai dari zaman penjajahan Belanda, zaman
penjajahan Jepang hingga zaman kemerdekaan.
Sebelum kedatangan penjajahan Belanda diawal abad XX di daerah dataran tinggi Karo, di kawasan itu hanya terdapat kampung (Kuta), yang terdiri dari satu atau lebih “kesain” (bagian dari kampung). Tiap-tiap kesain diperintah oleh seorang “Pengulu”. Menurut P. Tambun dalam bukunya “Adat Istiadat Karo”, Balai Pustaka 1952, arti dari pengulu adalah seseorang dari marga tertentu dibantu oleh 2 orang anggotanya dari kelompok “Anak Beru” dan “Senina”. Mereka ini disebut dengan istilah “Telu si Dalanen”
atau tiga sejalanan menjadi satu badan administrasi/pemerintahan dalam
lingkungannya. Anggota ini secara turun menurun dianggap sebagai “pembentuk kesain”, sedang kekuasaan mereka adalah pemerintahan kaum keluarga.
Di atas kekuasaan penghulu kesain, diakui pula kekuasaan kepala kampung asli (Perbapaan) yang menjadi kepala dari sekumpulan kampung yang asalnya dari kampung asli itu. Kumpulan kampung itu dinamai Urung. Pimpinannya disebut dengan Bapa Urung atau biasa juga disebut Raja Urung. Urung artinya satu kelompok kampung dimana semua pendirinya masih dalam satu marga atau dalam satu garis keturunan.
Menurut
P. Tambun seperti di atas ada beberapa sistem atau cara penggantian
perbapaan atau Raja Urung atau juga Pengulu di zaman itu, yaitu dengan
memperhatikan hasil keputusan “runggun/permusyawaratan” kaum kerabat berdasarkan kepada 2 (dua) dasar/pokok yakni:
- Dasar Adat “Sintua-Singuda” yang dicalonkan. Yang pertama-tama berhak menjadi Perbapaan adalah anak tertua. Namun kalau ia berhalanagan atau karena sebab yang lain, yang paling berhak di antara saudara-saudaranya adalah jatuh kepada anak yang termuda. Dari semua calon Perbapaan maka siapa yang terkemuka atau siapa yang kuat mendapatkan dukungan, misalnya siapa yang mempunyai banyak Anak Beru dan Senina, besar kemungkinan jabatan Perbapaan/Raja Urung atau Pengulu, akan jatuh kepadanya. Jadi dengan demikian, kedudukan Perbapaan, yang disebutkan di atas harus jatuh kepada yang tertua atau yang termuda, tidaklah sepenuhnya dijalankan secara baik waktu itu. Banyak contoh terjadi dalam hal pergantian Perbapaan seperti itu, antara lain ke daerah Perbapaan Lima Senina. Lebih-lebih kejadian seperti itu terjadi setelah di daerah itu berkuasa kaum penjajah Belanda di permulaan abad XX (1907). Belanda melakukan “intervensi” dalam hal penentuan siapa yang diangap pantas sebagai Perbapaan dari kalangan keluarga yang memerintah, walaupun ada juga selalu berdasarkan adat.
- Dasar “Bere-bere”, yakni menurut keturunan dari pihak Ibu. Hanya dari keturunan ibu/kemberahen tertentu saja yang pertama-tama berhak menjadi Perbapaan. Namun setelah kedatangan perjajahan Belanda sistem atau dasar “Bere-bere” ini dihapuskan.
Mengangkat
dan mengganti Perbapaan dilakukan oleh “Kerunggun” Anak Beru-Senina dan
Kalimbubu. Namun setelah jaman Belanda cara seperti itu diper-modern,
dengan cara kekuasaannya dikurangi, malah akhirnya diambil alih oleh
kerapatan Balai Raja Berempat. Demikian pula, dasar pengangkatan
“Pengulu” dan Perbapaan. Kekuasaan Raja Urung yang tadinya cukup luas,
dipersempit dengan keluarnya Besluit Zelfbestuur No. 42/1926, dimana
antara lain dapat dibaca…………jabatan Raja-raja Urung dan Pengulu akan
diwarisi oleh turunan langsung yang sekarang ada memegang jabatan
itu………...
Marilah
kembali melihat sistem pergantian Perbapaan Urung dan Pengulu Kesain,
sebelum datangnya penjajahan Belanda ke daerah dataran Tinggi Tanah
Karo.
Yang
pertama-tama berhak untuk mewarisi jabatan Perbapaan Urung atau Pengulu
ialah anak tertua, kalau dia berhalangan, maka yang paling berhak
adalah anak yang termuda/bungsu. Sesudah kedua golongan yang berhak tadi
itu, yang berhak adalah anak nomor dua yang tertua, kemudian anak nomor
dua yang termuda. Orang yang berhak dan dianggap sanggup menjadi
Perbapaan Urung tetapi karena sesuatu sebab menolaknya, maka dengan
sendirinya hilang haknya dan berhak keturunannya yang menjadi
Perbapaan/Raja Urung. Hal ini juga menurut P. Tambun dalam bukunya
merupakan adat baru. Maksudnya adalah untuk menjaga supaya pemangkuan
Perbapaan yang dilaksanakan oleh orang lain hanya dilakukan dalam
keadaan terpaksa.
Sementara
itu orang yang berhak menurut adat menjadi Perbapaan/Raja, tetapi masih
dalam keadaan di bawah umur ataupun belum kawin, maka jabatan itu boleh
dipangku/diwakili kepada orang lain menunggu orang yang berhak itu
sudah mencukupi.
Peraturan
tetap tentang memilih siapa sebagai pemangku itu tidak ada. Yang sering
dilakukan ialah orang yang paling cakap diantara kaum sanak keluarga
terdekat, termasuk juga Anak Beru dan marga yang seharusnya memerintah
sebagai Perbapaan Raja.
Adapun
jabatan pemangku itu dipilih dari kalangan Anak Beru dari lain marga
dari Perbapaan/Raja. Jadi mustahillah sipemangku itu tadi berhak atas
kerajaan yang dipangkunya untuk selama-lamanya, pasti disatu waktu akan
dikembalikan kepada yang berhak. Sedangkan kalau jabatan sebagai
Perbapaan/Raja dipegang oleh kaum keluarga dari sipemangku yang berhak,
misalnya saudara satu ayah lain ibu, ada kemungkinan akan mendakwa dan
mempertahankan jabatan itu di kemudian hari, terlebih kalau dia sudah
bertahun-tahun sudah memangku jabatan itu, sehingga merasa segan malah
menolak menyerahkannya kembali kepada yang berhak. Keadaan seperti ini
juga pernah terjadi, malah menimbulkan perselisihan berkepanjangan antar
kerabat yang seketurunan.
Dalam
pemangkuan sementara itu, diadatkan sehingga merupakan kewajiban bagi
si pemangku yaitu menyerahkan 1/3 dari semua pendapatan kerajaan kepada
orang yang seharusnya memangku jabatan tersebut.
Seperti
diuraikan di depan, baik Perbapaan Urung/Raja Urung ataupun Pengulu
yang dibantu oleh “Anak Beru-Senina”, yang merupakan “Telu Sidalanen”,
maka jabatan dari “Anak Beru-Senina” itupun juga bersifat turun temurun.
Dengan
sistem ini Pemerintah Tradisional Karo telah berjalan hampir ratusan
tahun. Sistem itu mengalami sedikit perubahan pada abad ke 18 ketika
Karo berada dibawah pengaruh Aceh yang membentuk raja berempat di Tanah
Karo.
Seiring
dengan masuknya pengaruh kekuasaan Belanda ke daerah Sumatera Timur
melalui Kerajaan Siak Riau maka terjadi pula perubahan penting di dareah
ini karena Belanda juga ingin menguasai seluruh Tanah Karo. Di Deli
waktu itu sudah mulai berkembang Perkebunan tembakau yang diusahai oleh
pengusaha-pengusaha Belanda. Namun tidak selamanya kekuasaan Belanda
tertanam dengan mudah di daerah Sumatera Utara terlebih-lebih di daerah
dataran tinggi Karo. Dan bagi orang Karo di masa lampau, kedatangan
Belanda identik dengan pengambilan tanah rakyat untuk perkebunan. Banyak
penduduk di Deli dan Langkat yang kehilangan tanahnya karena Sultan
memberikan tanah secara tak semena-mena untuk jangka waktu 99 tahun
(kemudian konsensi 75 tahun) kepada perkebunan tanpa menghiraukan
kepentingan rakyat. Kegetiran dan penderitaan penduduk melahirkan perang
sunggal yang berkepanjangan (1872-1895) yang juga dikenal sebagai
perang Tanduk Benua atau Batakoorlog. Dalam perang tersebut orang Melayu
dan orang Karo bahu-membahu menentang Belanda, antara lain dengan
membakari bangsal-bangsal tembakau.
Di
satu pihak ada persoalan antara Sultan Deli dan Datuk Sunggal karena
Sultan Deli memberikan konsensi kepada Maskapai Belanda untuk membuka
perkebunan dan daerah Sunggal termasuk di dalamnya. Perlawanan rakyat
Sunggal dipimpin oleh Datuk Kecil (Datuk Muhammad Dini), Datuk Abdul
Jalil dan Datuk Sulung Barat.Bantuan
dari tanah karo dipusatkan di kampung Gajah. Tokoh Karo yang sangat
terkenal dalam peperangan ini adalah Langgah Surbakti, berasal dari
kampung Susuk Tanah Karo dan Nabung Surbakti, dikenal sebagai Penghulu
Juma Raja. Karena hebatnya serangan-serangan yang dilancarkan, pihak
Belanda mengirim ekspedisi ke Sunggal sampai tiga kali. Akibat
peperangan itu, di pihak tentara Belanda banyak jatuh korban. Serdadu
berkebangsaan Eropah tewas 28 orang dan serdadu Bumi Putra tewas 3
orang. Yang luka-luka, serdadu Eropah 320 orang dan serdadu Bumi Putra
270 orang.
Pekabaran
injil ke Tanah Karo (1894) tidak terlepas dari kerusuhan-kerusuhan
perkebunan tersebut. Pihak perkebunan mengharapkan bahwa
gangguan-gangguan orang Karo akan dapat dipadamkan melalui pekabaran
injil, jadi yang membiayai misionari (Nederlands Zendilingsgenotschap),
ke karo adalah pihak perkebunan, diprakarsai oleh J.TH Gremers, Direktur
Perkebunan tembakau Deli Maatschappij pada saat itu.
Garamata
yang mengadakan perlawanan pada awal abad ini (1901-1905) juga
berpendapat bahwa jika Belanda dibiarkan ke Tanah karo maka tanah rakyat
mungkin sekali diambil untuk perkebunan. Pikiran ini didasarkan pada
pengalaman orang Karo di dataran rendah, di Deli dan Langkat.
Selanjutnya dia juga berpendapat bahwa orang Karo mempunyai cara
hidupnya sendiri dan istiadatnya sendiri dan tidak perlu dicampuri oleh
orang Belanda (lihat Masri Singarimbun, Garamata: Perjuangan melawan
Penjajah Belanda, 1901-1905, Balai Pustaka, Jakarta, 1992). Namun
kekuatan Belanda yang begitu besar tidak dapat dibendung.
Sebelumnya pembangkangan yang sangat terkenal dilakukan oleh Sibayak Pa Tolong atau Sibayak Kuta Buluh,
yang melakukan pembangkangan terhadap pembayaran pajak kepada Belanda
(lihat Bab VI buku Darwan Prinst dan Darwin Prinst: Sejarah dan
Kebudayaan Karo, Penerbit Grama Jakarta, 1985).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar