Sejarah Kota Medan
1. Medan Tanah Deli
Pada zaman dahulu Kota Medan ini dikenal dengan nama Tanah Deli dan
keadaan tanahnya berawa-rawa kurang lebih seluas 4000 Ha. Beberapa
sungai melintasi Kota Medan ini dan semuanya bermuara ke Selat Malaka.
Sungai-sungai itu adalah Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai,
Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan dan Sei Sulang Saling/Sei Kera.
Pada
mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru Patimpus lokasinya
terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan orang selalu
merangkaikan Medan dengan Deli (Medan–Deli). Setelah zaman kemerdekaan
lama kelamaan istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap sehingga
akhirnya kurang popular.
Dahulu orang menamakan Tanah Deli mulai dari Sungai Ular (Deli Serdang)
sampai ke Sungai Wampu di Langkat sedangkan Kesultanan Deli yang
berkuasa pada waktu itu wilayah kekuasaannya tidak mencakup daerah
diantara kedua sungai tersebut.
Secara keseluruhan jenis tanah di wilayah Deli terdiri dari tanah liat,
tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat dan tanah merah.
Hal ini merupakan penelitian dari Van Hissink tahun 1900 yang
dilanjutkan oleh penelitian Vriens tahun 1910 bahwa disamping jenis
tanah seperti tadi ada lagi ditemui jenis tanah liat yang spesifik.
Tanah liat inilah pada waktu penjajahan Belanda ditempat yang bernama
Bakaran Batu (sekarang Medan Tenggara atau Menteng) orang membakar batu
bata yang berkwalitas tinggi dan salah satu pabrik batu bata pada zaman
itu adalah Deli Klei.
Mengenai curah hujan di Tanah Deli digolongkan dua macam yakni : Maksima
Utama dan Maksima Tambahan. Maksima Utama terjadi pada bulan-bulan
Oktober s/d bulan Desember sedang Maksima Tambahan antara bulan Januari
s/d September. Secara rinci curah hujan di Medan rata-rata 2000 pertahun
dengan intensitas rata-rata 4,4 mm/jam.
Menurut Volker pada tahun 1860 Medan masih merupakan hutan rimba dan
disana sini terutama dimuara-muara sungai diselingi pemukiman-pemukiman
penduduk yang berasal dari Karo dan semenanjung Malaya. Pada tahun 1863
orang-orang Belanda mulai membuka kebun Tembakau di Deli yang sempat
menjadi primadona Tanah Deli. Sejak itu perekonomian terus berkembang
sehingga Medan menjadi Kota pusat pemerintahan dan perekonomian di
Sumatera Utara.
2. Kampung Medan dan Tembakau Deli
Pada awal perkembangannya merupakan sebuah kampung kecil bernama "Medan
Putri". Perkembangan Kampung "Medan Putri" tidak terlepas dari posisinya
yang strategis karena terletak di pertemuan sungai Deli dan sungai
Babura, tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang. Kedua sungai
tersebut pada zaman dahulu merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang
cukup ramai, sehingga dengan demikian Kampung "Medan Putri" yang
merupakan cikal bakal Kota Medan, cepat berkembang menjadi pelabuhan
transit yang sangat penting.
Semakin
lama semakin banyak orang berdatangan ke kampung ini dan isteri Guru
Patimpus yang mendirikan kampung Medan melahirkan anaknya yang pertama
seorang laki-laki dan dinamai si Kolok. Mata pencarian orang di Kampung
Medan yang mereka namai dengan si Sepuluh dua Kuta adalah bertani
menanam lada. Tidak lama kemudian
lahirlah anak kedua Guru Patimpus dan anak inipun laki-laki dinamai si Kecik.
lahirlah anak kedua Guru Patimpus dan anak inipun laki-laki dinamai si Kecik.
Pada zamannya Guru Patimpus merupakan tergolong orang yang berfikiran
maju. Hal ini terbukti dengan menyuruh anaknya berguru (menuntut ilmu)
membaca Alqur’an kepada Datuk Kota Bangun dan kemudian memperdalam
tentang agama Islam ke Aceh.
Keterangan yang menguatkan bahwa adanya Kampung Medan ini adalah
keterangan H. Muhammad Said yang mengutip melalui buku Deli In Woord en
Beeld ditulis oleh N.Ten Cate. Keterangan tersebut mengatakan bahwa
dahulu kala Kampung Medan ini merupakan Benteng dan sisanya masih ada
terdiri dari dinding dua lapis berbentuk bundaran yang terdapat
dipertemuan antara dua sungai yakni Sungai Deli dan sungai Babura. Rumah
Administrateur terletak diseberang sungai dari kampung Medan. Kalau
kita lihat bahwa letak dari Kampung Medan ini adalah di Wisma Benteng
sekarang dan rumah Administrateur tersebut adalah kantor PTP IX Tembakau
Deli yang sekarang ini.
Sekitar tahun 1612 setelah dua dasa warsa berdiri Kampung Medan, Sultan
Iskandar Muda yang berkuasa di Aceh mengirim Panglimanya bernama Gocah
Pahlawan yang bergelar Laksamana Kuda Bintan untuk menjadi pemimpin yang
mewakili kerajaan Aceh di Tanah Deli.
Gocah Pahlawan membuka negeri baru di Sungai Lalang, Percut. Selaku Wali dan Wakil Sultan Aceh serta dengan memanfaatkan kebesaran imperium Aceh, Gocah Pahlawan berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga meliputi Kecamatan Percut Sei Tuan dan Kecamatan Medan Deli sekarang. Dia juga mendirikan kampung-kampung Gunung Klarus, Sampali, Kota Bangun, Pulau Brayan, Kota Jawa, Kota Rengas Percut dan Sigara-gara.
Gocah Pahlawan membuka negeri baru di Sungai Lalang, Percut. Selaku Wali dan Wakil Sultan Aceh serta dengan memanfaatkan kebesaran imperium Aceh, Gocah Pahlawan berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga meliputi Kecamatan Percut Sei Tuan dan Kecamatan Medan Deli sekarang. Dia juga mendirikan kampung-kampung Gunung Klarus, Sampali, Kota Bangun, Pulau Brayan, Kota Jawa, Kota Rengas Percut dan Sigara-gara.
Dengan tampilnya Gocah pahlawan mulailah berkembang Kerajaan Deli dan
tahun 1632 Gocah Pahlawan kawin dengan putri Datuk Sunggal. Setelah
terjadi perkawinan ini raja-raja di Kampung Medan menyerah pada Gocah
Pahlawan.
Gocah Pahlawan wafat pada tahun 1653 dan digantikan oleh puteranya
Tuangku Panglima Perunggit, yang kemudian memproklamirkan kemerdekaan
Kesultanan Deli dari Kesultanan Aceh pada tahun 1669, dengan ibukotanya
di Labuhan, kira-kira 20 km dari Medan.
Jhon Anderson seorang Inggris melakukan kunjungan ke Kampung Medan tahun
1823 dan mencatat dalam bukunya Mission to the East Coast of Sumatera
bahwa penduduk Kampung Medan pada waktu itu masih berjumlah 200 orang
tapi dia hanya melihat penduduk yang berdiam dipertemuan antara dua
sungai tersebut. Anderson menyebutkan dalam bukunya “Mission to the East
Coast of Sumatera“ (terbitan Edinburg 1826) bahwa sepanjang sungai Deli
hingga ke dinding tembok mesjid Kampung Medan di bangun dengan
batu-batu granit berbentuk bujur sangkar. Batu-batu ini diambil dari
sebuah Candi Hindu Kuno di Jawa.
Pesatnya perkembangan Kampung "Medan Putri", juga tidak terlepas dari
perkebunan tembakau yang sangat terkenal dengan tembakau Delinya, yang
merupakan tembakau terbaik untuk pembungkus cerutu. Pada tahun 1863,
Sultan Deli memberikan kepada Nienhuys Van der Falk dan Elliot dari
Firma Van Keeuwen en Mainz & Co, tanah seluas 4.000 bahu (1 bahu =
0,74 ha) secara erfpacht 20 tahun di Tanjung Sepassi, dekat Labuhan.
Contoh tembakau deli. Maret 1864, contoh hasil panen dikirim ke
Rotterdam di Belanda, untuk diuji kualitasnya. Ternyata daun tembakau
tersebut sangat baik dan berkualitas tinggi untuk pembungkus cerutu.
Kemudian di tahun 1866, Jannsen, P.W. Clemen, Cremer dan Nienhuys
mendirikan de Deli Maatscapij di Labuhan. Kemudian melakukan ekspansi
perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal (1869), Sungai Beras dan
Klumpang (1875), sehingga jumlahnya mencapai 22 perusahaan perkebunan
pada tahun 1874. Mengingat kegiatan perdagangan tembakau yang sudah
sangat luas dan berkembang, Nienhuys memindahkan kantor perusahaannya
dari Labuhan ke Kampung "Medan Putri". Dengan demikian "Kampung Medan
Putri" menjadi semakin ramai dan selanjutnya berkembang dengan nama yang
lebih dikenal sebagai "Kota Medan".
3. Legenda Kota Medan
Menurut legenda di zaman dahulu kala pernah hidup di Kesultanan Deli
lama kira-kira 10 Km dari Kampung Medan yakni di Deli Tua sekarang
seorang Putri yang sangat cantik dan karena kecantikannya diberi nama
Putri Hijau. Kecantikan Putri ini tersohor kemana-mana mulai dari Aceh
sampai ke ujung Utara Pulau Jawa.
Sultan Aceh jatuh cinta pada Putri itu dan melamarnya untuk dijadikan
permaisurinya. Lamaran Sultan Aceh itu ditolak oleh saudara kedua
laki-laki Putri Hijau. Sultan aceh sangat marah karena penolakan itu
dianggapnya sebagai penghinaan terhadap dirinya. Maka pecahlah perang
antara Kesultanan Aceh dengan Kesultanan Deli.
Menurut
legenda yang tersebut diatas, dengan menggunakan kekuatan gaib seorang
dari saudara Putri hijau menjelma menjadi seekor ular naga dan seorang
lagi menjadi sepucuk meriam yang tidak henti-hentinya menembaki tentara
Aceh hingga akhir hayatnya.
KesultananDeli lama mengalami kekalahan dalam peperangan itu dan karena
kecewa Putra Mahkota yang menjelma menjadi meriam itu meledak sebagian,
bagian belakangnya terlontar ke Labuhan Deli dan bagian depannya
kedataran tinggi Karo kira-kira 5 Km dari Kabanjahe.
Putri Hijau ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang dimuat
kedalam kapal untuk seterusnya dibawa ke Aceh. Ketika kapal sampai di
Ujung Jambo Aye, Putri Hijau mohon diadakan satu upacara untuknya
sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas permintaannya, harus diserahkan
padanya sejumlah beras dan beribu-ribu telur dan permohonan tuan Putri
dikabulkan. Tetapi baru saja uapacara dimulai tiba-tiba berhembuslah
angin ribut yang maha dahsyat disusul gelombang-gelombang yang sangat
tinggi.
Dari dalam laut muncullah abangnya yang telah menjelma menjadi ular naga
itu dan dengan menggunakan rahangnya yang besar itu diambilnya peti
tempat adiknya dikurung, lalu dibawanya masuk ke dalam laut.
Legenda ini samapai sekarang masih terkenal di kalangan masyarakat Deli dan malahan juga dalam masyarakat Melayu di Malaysia.
Di Deli Tua masih terdapat reruntuhan Benteng dan Puri yang berasal dari
zaman Putri Hijau, sedang sisa meriam penjelmaan abang Putri Hijau itu
dapat dilihat di halaman Istana Maimun Medan.
4. Penjajahan Belanda di Tanah Deli
Belanda yang menjajah Nusantara kurang lebih setengah abad namun untuk
menguasai Tanah Deli mereka sangat banyak mengalami tantangan yang tidak
sedikit. Mereka mengalami perang di Jawa dengan pangeran Diponegoro
sekitar tahun 1825-1830. Belanda sangat banyak mengalami kerugian
sedangkan untuk menguasai Sumatera, Belanda juga berperang melawan Aceh,
Minangkabau, dan Sisingamangaraja di daerah Tapanuli.
Jadi untuk menguasai Tanah Deli Belanda hanya kurang lebih 78 tahun
mulai dari tahun 1864 sampai 1942. Setelah perang Jawa berakhir barulah
Gubernur Jenderal Belanda J.Van den Bosch mengerahkan pasukannya ke
Sumatera dan dia memperkirakan untuk menguasai Sumatera secara
keseluruhan diperlukan waktu 25 tahun. Penaklukan Belanda atas Sumatera
ini terhenti ditengah jalan karena Menteri Jajahan Belanda waktu itu
J.C.Baud menyuruh mundur pasukan Belanda di Sumatera walaupun mereka
telah mengalahkan Minangkabau yang dikenal dengan nama perang Paderi (
1821-1837 ).
Sultan Ismail yang berkuasa di Riau secara tiba-tiba diserang oleh
gerombolan Inggeris dengan pimpinannya bernama Adam Wilson. Berhubung
pada waktu itu kekuatannya terbatas maka Sultan Ismail meminta
perlindungan pada Belanda. Sejak saat itu terbukalah kesempatan bagi
Belanda untuk menguasai Kerajaan Siak Sri Indrapura yang rajanya adalah
Sultan Ismail. Pada tanggal 1 Februari 1858 Belanda mendesak Sultan
Ismail untuk menandatangani perjanjian agar daerah taklukan kerajaan
Siak Sri Indrapura termasuk Deli, Langkat dan Serdang di Sumatera Timur
masuk kekuasaan Belanda. Karena daerah Deli telah masuk kekuasaan
Belanda otomatislah Kampung Medan menjadi jajahan Belanda, tapi
kehadiran Belanda belum secara fisik menguasai Tanah Deli.
Pada tahun 1858 juga Elisa Netscher diangkat menjadi Residen Wilayah
Riau dan sejak itu pula dia mengangkat dirinya menjadi pembela Sultan
Ismail yang berkuasa di kerajaan Siak. Tujuan Netscher itu adalah dengan
duduknya dia sebagai pembela Sultan Ismail secara politis tentunya akan
mudah bagi Netscher menguasai daerah taklukan kerajaan Siak yakni Deli
yang di dalamnya termasuk Kampung Medan Putri.
Perkembangan Medan Putri menjadi pusat perdagangan telah mendorongnya
menjadi pusat pemerintahan. Tahun 1879, Ibukota Asisten Residen Deli
dipindahkan dari Labuhan ke Medan, 1 Maret 1887,Ibukota Residen Sumatera
Timur dipindahkan pula dari Bengkalis ke Medan, Istana Kesultanan Deli
yang semula berada di Kampung Bahari (Labuhan) juga pindah dengan
selesainya pembangunan Istana Maimoon pada tanggal 18 Mei 1891, dan
dengan demikian Ibukota Deli telah resmi pindah ke Medan.
Pada tahun 1915 Residensi Sumatera Timur ditingkatkan kedudukannya
menjadi Gubernemen. Pada tahun 1918 Kota Medan resmi menjadi Gemeente
(Kota Praja) dengan Walikota Baron Daniel Mac Kay. Berdasarkan "Acte van
Schenking" (Akte Hibah) Nomor 97 Notaris J.M. de-Hondt Junior, tanggal
30 Nopember 1918, Sultan Deli menyerahkan tanah kota Medan kepada
Gemeente Medan, sehingga resmi menjadi wilayah di bawah kekuasaan
langsung Hindia Belanda. Pada masa awal Kotapraja ini, Medan masih
terdiri dari 4 kampung, yaitu Kampung Kesawan, Kampung Sungai Rengas,
Kampung Petisah Hulu dan Kampung Petisah Hilir.
Pada tahun 1918 penduduk Medan tercatat sebanyak 43.826 jiwa yang
terdiri dari Eropa 409 orang, Indonesia 35.009 orang, Cina 8.269 orang
dan Timur Asing lainnya 139 orang.
Sejak itu Kota Medan berkembang semakin pesat. Berbagai fasilitas
dibangun. Beberapa diantaranya adalah Kantor Stasiun Percobaan AVROS di
Kampung Baru (1919), sekarang RISPA, hubungan Kereta Api Pangkalan
Brandan - Besitang (1919), Konsulat Amerika (1919), Sekolah Guru
Indonesia di Jl. H.M. Yamin sekarang (1923), Mingguan Soematra (1924),
Perkumpulan Renang Medan (1924), Pusat Pasar, R.S. Elizabeth, Klinik
Sakit Mata dan Lapangan Olah Raga Kebun Bunga (1929).
Secara historis perkembangan Kota Medan, sejak awal telah memposisikan
menjadi pusat perdagangan (ekspor-impor) sejak masa lalu. sedang
dijadikannya medan sebagai ibukota deli juga telah menjadikannya Kota
Medan berkembang menjadi pusat pemerintah. sampai saat ini disamping
merupakan salah satu daerah kota, juga sekaligus sebagai ibukota
Propinsi Sumatera Utara.
5. Kota Medan Masa Penjajahan Jepang
Tahun 1942 penjajahan Belanda berakhir di Sumatera yang ketika itu
Jepang mendarat dibeberapa wilayah seperti Jawa, Kalimantan, Sulawesi
dan khusus di Sumatera Jepang mendarat di Sumatera Timur.
Tentara Jepang yang mendarat di Sumatera adalah tentara XXV yang
berpangkalan di Shonanto yang lebih dikenal dengan nama Singapore, tepatnya mereka mendarat tanggal 11 malam 12 Maret 1942. Pasukan ini terdiri dari Divisi Garda Kemaharajaan ke-2 ditambah dengan Divisi ke-18 dipimpin langsung oleh Letjend. Nishimura. Ada empat tempat pendaratan mereka ini yakni Sabang, Ulele, Kuala Bugak (dekat Peurlak Aceh Timur sekarang) dan Tanjung Tiram (kawasan Batubara sekarang).
berpangkalan di Shonanto yang lebih dikenal dengan nama Singapore, tepatnya mereka mendarat tanggal 11 malam 12 Maret 1942. Pasukan ini terdiri dari Divisi Garda Kemaharajaan ke-2 ditambah dengan Divisi ke-18 dipimpin langsung oleh Letjend. Nishimura. Ada empat tempat pendaratan mereka ini yakni Sabang, Ulele, Kuala Bugak (dekat Peurlak Aceh Timur sekarang) dan Tanjung Tiram (kawasan Batubara sekarang).
Pasukan tentara Jepang yang mendarat di kawasan Tanjung Tiram inilah
yang masuk ke Kota Medan, mereka menaiki sepeda yang mereka beli dari
rakyat disekitarnya secara barter. Mereka bersemboyan bahwa mereka
membantu orang Asia karena mereka adalah saudara Tua orang-orang Asia
sehingga mereka dieluelukan menyambut kedatangannya.
Ketika peralihan kekuasaan Belanda kepada Jepang Kota Medan kacau balau,
orang pribumi mempergunakan kesempatan ini membalas dendam terhadap
orang Belanda. Keadaan ini segera ditertibkan oleh tentara Jepang dengan
mengerahkan pasukannya yang bernama “ Kempetai “ (Polisi Militer
Jepang). Dengan masuknya Jepang di Kota Medan keadaan segera berubah
terutama pemerintahan sipilnya yang zaman Belanda disebut “Gemeente
Bestuur “ oleh Jepang dirobah menjadi “Medan Sico“ (Pemerintahan
Kotapraja). Yang menjabat pemerintahan sipil di tingkat Kotapraja Kota
Medan ketika itu hingga berakhirnya kekuasaan Jepang bernama Hoyasakhi.
Untuk tingkat keresidenan di Sumatera Timur karena masyarakatnya
heterogen disebut Syucokan yang ketika itu dijabat oleh T.Nakashima,
pembantu Residen disebut dengan Gunseibu.
Penguasaan Jepang semakin merajalela di Kota Medan mereka membuat
masyarakat semakin papa, karena dengan kondisi demikianlah menurut
mereka semakin mudah menguasai seluruh Nusantara, semboyan saudara Tua
hanyalah semboyan saja. Disebelah Timur Kota Medan yakni Marindal
sekarang dibangun Kengrohositai sejenis pertanian kolektif. Dikawasan
Titi Kuning Medan Johor sekarang tidak jauh dari lapangan terbang
Polonia sekarang mereka membangun landasan pesawat tempur Jepang.
6. Kota Medan Menyambut Kemerdekaan Republik Indonesia
Dimana-mana diseluruh Indonesia menjelang tahun 1945 bergema persiapan
Proklamasi demikian juga di Kota Medan tidak ketinggalan para tokoh
pemudanya melakukan berbagai macam persiapan. Mereka mendengar bahwa bom
atom telah jatuh melanda Kota Hiroshima, berarti kekuatan Jepang sudah
lumpuh. Sedangkan tentara sekutu berhasrat kembali untuk menduduki
Indonesia.
Khususnya di kawasan kota Medan dan sekitarnya, ketika penguasa Jepang
menyadari kekalahannya segera menghentikan segala kegiatannya, terutama
yang berhubungan dengan pembinaan dan pengerahan pemuda. Apa yang selama
ini mereka lakukan untuk merekrut massa pemuda seperti Heiho, Romusha,
Gyu Gun dan Talapeta mereka bubarkan atau kembali kepada masyarakat.
Secara resmi kegiatan ini dibubarkan pada tanggal 20 Agustus 1945 karena
pada hari itu pula penguasa Jepang di Sumatera Timur yang disebut
Tetsuzo Nakashima mengumumkan kekalahan Jepang. Beliau juga menyampaikan
bahwa tugas pasukan mereka dibekas pendudukan untuk menjaga status quo
sebelum diserah terimakan pada pasukan sekutu. Sebagian besar anggota
pasukan bekas Heiho, Romusha, Talapeta dan latihan Gyu Gun merasa
bingung karena kehidupan mereka terhimpit dimana mereka hanya diberikan
uang saku yang terbatas, sehingga mereka kelihatan berlalu lalang dengan
seragam coklat di tengah kota.
Beberapa tokoh pemuda melihat hal demikian mengambil inisiatif untuk
menanggulanginya. Terutama bekas perwira Gyu Gun diantaranya Letnan
Achmad Tahir mendirikan suatu kepanitiaan untuk menanggulangi para bekas
Heiho, Romusha yang famili/saudaranya tidak ada di kota Medan. Panitia
ini dinamai dengan “Panitia Penolong Pengangguran Eks Gyu Gun“ yang
berkantor di Jl. Istana No.17 (Gedung Pemuda sekarang).
Tanggal 17 Agustus 1945 gema kemerdekaan telah sampai ke kota Medan
walupun dengan agak tersendat-sendat karena keadaan komunikasi pada
waktu itu sangat sederhana sekali. Kantor Berita Jepang “Domei" sudah
ada perwakilannya di Medan namun mereka tidak mau menyiarkan berita
kemerdekaan tersebut, akibatnya masyarakat tambah bingung.
Sekelompok kecil tentara sekutu tepatnya tanggal 1 September 1945 yang
dipimpin Letnan I Pelaut Brondgeest tiba di kota Medan dan berkantor di
Hotel De Boer (sekarang Hotel Dharma Deli). Tugasnya adalah
mempersiapkan pengambilalihan kekuasaan dari Jepang. Pada ketika itu
pula tentara Belanda yang dipimpin oleh Westerling didampingi perwira
penghubung sekutu bernama Mayor Yacobs dan Letnan Brondgeest berhasil
membentuk kepolisian Belanda untuk kawasan Sumatera Timur yang
anggotanya diambil dari eks KNIL dan Polisi Jepang yang pro Belanda.
Akhirnya dengan perjalanan yang berliku-liku para pemuda mengadakan
berbagai aksi agar bagaimanapun kemerdekaan harus ditegakkan di
Indonesia demikian juga di kota Medan yang menjadi bagiannya. Mereka itu
adalah Achmad Tahir, Amir Bachrum Nasution, Edisaputra, Rustam Efendy,
Gazali Ibrahim, Roos Lila, A.malik Munir, Bahrum Djamil, Marzuki Lubis
dan Muhammad Kasim Jusni.
Sumber Informasi:
Buku Kota Medan Pintu Gerbang (Bappeda)
Buku Monografi Kota Medan (Bappeda)
Buku Medan Selayang Pandang
Buku Kota Medan Pintu Gerbang (Bappeda)
Buku Monografi Kota Medan (Bappeda)
Buku Medan Selayang Pandang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar