Sejarah Kota Tebingtinggi
KOTA Tebing Tinggi berjarak sekitar 80 km dari Kota Medan – Ibukota Provinsi Sumatera Utara. Kota yang dikelilingi perkebunan milik PTPN III, IV dan Socfindo. Merujuk makalah berjudul “Kertas Kerja Mengenai Pokok-Pokok Pikiran Sekitar Hari Penetapan Berdirinya Kotamadya Daerah Tingkat II Tebing Tinggi”, kemudian dijadikan sebagai Perda yang menetapkan bahwa awal berdirinya Kota Tebing Tinggi adalah 1 Juli 1917.
Sejarah berdirinya Kota Tebing Tinggi dapat pula kita ketahui dari sebuah memori Tuan J.J. Mendelaar, mantan Voorzitter Don Gemeenteraad Tebing Tinggi, yang bila diterjemahkan secara bebas berbunyi : “Setelah beberapa tahun dalam keadaan vacum mengenai perluasan pelaksanaan desentralisasi, maka pada tanggal 31 Juni 1917 berdirilah Gemeente Tebing Tinggi dengan Insteling Ordonantie Van Staatsblad 1917 nomor 282, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1917.
DATUK BANDAR KAJUM
Riwayat menceritakan, bahwa ada seseorang dari Bandar
berpuak Simalungun bernama Datuk Bandar Kajum meninggalkan kampungnya melawat
ke daerah Padang, bersama-sama keluarga dan pengikut-pengikutnya, karena
diserang kerajaan lain.
Mula-mula mereka menempati sebuah kampung yang bernama
Tanjung Marulak diwilayah Tuan Rambutan – daerah Kebun Rambutan. Di Tanjung
Marulak inipun mereka mendapat serangan dari Kerajaan Raya, kemudian Datuk
Bandar Kajum (marga Damanik) mencari tempat tinggal di atas dataran tinggi di
pinggir sungai Padang.
Bersama dengan beberapa pengikutnya Datuk Bandar Kajum
mendirikan rumah dan kampung yang di pagari dengan kayu yang kokoh di Tebing
tepi sungai Padang, dibuatnya tempat pertahanan gunanya untuk menahan serangan
musuh kalau datang menyerbu kampungnya.
Pada suatu ketika puluhan orang dari Raya datang menyerang
kampung Datuk Bandar Kajum, melihat musuh yang datang, seluruh keluarga Datuk
Bandar Kajum dan orang-orang di kampung itu melarikan diri mengungsi ke kebun
Rambutan.
Diceritakan, Datuk Bandar Kajum memperoleh bantuan dari
administratur kebun Rambutan, sehingga Datuk Bandar Kajum dapat mengalahkan
orang-orang dari Raya dan pimpinan pasukannya dapat ditawan. Kemudian Datuk
Bandar Kajum dan keluarganya bersama pengikut-pengikutnya kembali ke kampung
yang telah dibangunnya, di dataran tinggi pertemuan sungai Padang dan sungai
Bahilang. Di tempat itu pernah dibangun pelataran tempat sampan berlabuh dan
tempat sampan ditambatkan.
Tempat itu kemudian terus berkembang menjadi tempat
pemukiman dan pemakaman Datuk Bandar Kajum dan keluarga serta
pengikut-pengikutnya. Itulah asal usul Kota Tebing Tinggi yang sekarang disebut
Tebing Tinggi Lama.
KERAJAAN PADANG
Jauh sebelum kedatangan Datuk Bandar Kajum, di Tebing Tinggi
dan sekitarnya telah berdiri kerajaan Padang. Bahkan Datuk Bandar Kajum
di-Datuk-kan oleh Kerajaan Padang dimasa Raja Goraha memerintah. Kerajaan
Padang adalah kerajaan Melayu yang berakar dari clan Saragih Dasak puak
Simalungun.
Mengikuti silsilah Saragih Garingging, Saragih Dasalak
dimulai dari putra Raja Nengel yaitu Tuan Mortiha. Menurut ‘Turiturian’ yang
lain Dasalak adalah nama, Yaitu berita Raja menemukan seorang bayi di atas
rumpun Bambu saat sedang berburu ke hutan, yang disebut juga “Jolma napultak
humbai buluh”. Lalu anak bayi itu diberi nama : Dasalak lahir tahun berkisar
1690, selisih umur 1 tahun dengan Raja Bolon. Permaisuri sangat sibuk dengan
pekerjaan mengurus kedua bayi yang masih kecil itu, walaupun dibantu dengan
kalangan istana.
Pertumbuhan kedua anak itu berjalan dengan baik,terlihat
kemiripan mereka seolah olah kembar, karena kecerdasan dan perawakan mereka
hampir sama. Sejak berumur 9 tahun kedua anak itu masing2 diberikan permainan
Gasing. Raja Bolon diberi Gasing yang terbuat dari emas,sedangkan si Dasalak
terbuat dari perak. Dengan demikian,dari jauh sudah bisa dibedakan yang mana
Raja Bolon dan yang mana Dasalak.
Di kisah lain Dasalak bermula dari “Mardawam Begu” (hubungan semarga hingga
melahirkan anak) oleh Raja Nengel.
Dari sinilah muncul Kerajaan atau pun Kejeruan Padang di
Tebing Tinggi sekitarnya. Bahkan WHM Schadee dalam Geschiedenis van Sumatra’s
Ooskust, deel I (Sumatra Instituut Amsterdam 1918) hal 104, bahwa terjadi
ceritera pada suatu tahun Kesawan dirampas oleh Kejeruan Padang. Turunan kelima
dari Kejeruan Padang ini bernama Panglima Amal.
Sedang Panglima Amal ini menjadi Sultan dengan akta Sultan
Siak pada 8 Maret 1814. John Anderson saat berkunjung ke Deli pada 1823 juga
bertemu dengan Panglima Amal yang telah menjadi Sultan.
Jika dikatakan bahwa Kesawan pernah dirampas Kejeruan
Padang, yang turunan kelimanya adalah Panglima Amal, kita hitung saja satu
generasi adalah 30 tahun dengan patokan tahun eksiistensi Panglima Amal adalah
1814, maka 1814 – (5 x 30) = 1664. Jadi berkisar tahun 1664 Kejeruan Padang di
Tebing Tinggi sudah ada dan sudah dikenal. Kita tidak menemukan nama kejeruan
Padang seperti penjelasan WHM Schadee, selain Padang di Tebing Tinggi
sekitarnya ini.
Menurut penuturan orang-orang tua tempatan, berbagai rujukan
dan catatan Putra Praja (1-1-1964), kisah Kerajaan Padang di Tebing Tinggi
dimulai dari Raja:
- Tuhan Hapultakan (dikenal juga dengan nama Tuan Oemar Baginda Saleh Komar)
- Marah Sudin
- Raja Saladin
- Raja Adam
- Raja Syahdewa
- Raja Sidin
- Raja Tebing Pangeran (1806-1823)
- Marah Hakim (Raja Geraha 1823-1870)
- Maharaja Muda Haji Muhammad Nurdin (Wazir Negeri Padang 1870-1914)
- Raja Alamsyah (1928-1931)
- Raja Ismail (1931-1933)
- Raja Hassim (1933-1946)
Tuhan Hapultakan (dikenal juga dengan nama Tuan Oemar Baginda Saleh Komar) yang
ber-’Pamatang’ di Bajenis – Tebing Tinggi. Tuhan Hapultakan – Saragih Dasalak
gelar Tuan Oemar Baginda Saleh Komar memiliki 4 putra yaitu Marah Ledin, Marah
Sudin, Marah Alimaludin, Marah Adam; serta seorang putri, yaitu Puang Jaenap.
Setelah Tuhan Hapultakan – Saragih gelar Tuan Oemar Baginda Saleh Komar
mangkat, abad 16, Raja beralih kepada Marah Sudin. Marah Alimaludin memperluas
wilayah di sekitar Pabatu hingga watas Dolog Marlawan. Putra Marah Sudin, yaitu
Marah Saleh Safar membentuk wilayah Mandaris hingga watas Tanjung Kasau. Putra
yang lain, Sutan Ali menguasai wilayah Bulian. berikutnya beraja pula Tuan
Marah Saladin yang terpusat di Bulian. dizamannya terkisah banyak jejayaan,
meski umur beliau tidak panjang. Setelah itu dirajakan Marah Adam, dan 1780
berganti ke Syahdewa, selanjutnya Raja Sidin, Raja Pangeran. Dizaman Raja
Pangeran dan dibantu Raja Syahbokar ini, saudara-saudaranya dari Saragih
Garingging banyak berdatangan untuk berdagang di Tebing Tinggi, seperti
berdagang Getah Balata dan lainnya. Dizaman ini pula dibangun pelabuhan armada
laut di Bandar Khalifah. Karena Kerajaan Padang yang berpusat di Bulian –
Tebing Tinggi menjadi makmur, Deli mulai ingin mengadakan ekspansi. Raja
Pangeran & Syahbokar memanggil garis turunan Raja Bolon – Saragih
Garingging, yang dikenal Parmata (memiliki ‘kemampuam linuwih’ ) yaitu Putra
Tuan malayu, yaituTuan Jaamta untuk membantu beliau mengatasi upaya ekspansi
Deli.
Deli dengan bantuan Bedagai melakukan penyerangan, yang juga
melibatkan Panglima Daud, seorang bangsawan ksatria berdarah Bugis.
Raja Padang menugaskan Tuan Jaamta Malayu untuk memimpin
perlawanan. Tuan Jaamta yang Parmata ini memimpin peperangan hingga Deli &
Bedagai sebagai sekutunya sangat kewalahan. Peperangan yang dipimpin Jaamta
Malayu itu hingga ke wilayah dekat Penggalangan. Deli kalah telak hingga
wilayah itu banjir darah; ibarat sungai dengan darah kering yang menghitam,
hingga tempat itu selanjutnya lebih popular disebut Bah Birong (kini disebut
Sei Berong – pinggiran luar Tebing Tinggi) Usai perang tersebut Raja Raya
memanggil kembali Jaamta Malayu. Kesempatan ini dimanfaatkan Deli untuk
menawarkan musyawarah damai kepada Raja Pangeran . Raja menyanggupi, dan
perundingan disepakati di daerah Bandar Khalifah.
Sesampainya di Kampung Juhar – Bandar Khalifah, ternyata
Panglima Daud sudah menghadang dan menghunuskan Keris ke perut Raja Pangeran.
Saat itu pula Raja Pangeran tewas. Diceritakan bahwa Keris yang dipakai untuk
membunuh Raja Pangeran adalah keris leluhur Saragih Dasalak yang dicuri
Panglima Daud saat ia masih berhubungan baik dengan Raja Syahbokar. Kerajaan
Padang selanjutnya dipimpin turunan Puang Jaenap, yaitu Marah Hakum yang
dibantu pula oleh para pembesar semasa Raja Pangeran , sebut saja Orang Kaya
Bakir yang sebelumnya memegang jabatan Bendahara. Raya memberi gelar Raja
Goraha bagi Marah Hakum, karena ia bukan asli Partuanon Simalungun, karena
ayahnya adalah berasal dari Barus. Di zaman Raja Goraha 1823 – 1870 (orang
Tebing Tinggi menyebutnya Raja Geraha) ini, Raja mengangkat ‘Orang-Orang Besar’
yang dianggapnya berjasa di Kerajaan Padang – Tebing Tinggi, untuk membantu
kepemerintahannya, Misalnya, Tuan Rambutan, Syahimbang Saragih (Selanjutnya
digelari Orang Kaya Syahimbang), Jaamta Malayu Saragih (selanjutnya digelari Tengku
Jaamta Malayu – Penasihat Raja), Datuk Alang dan lainnya. Pemerintahan
selanjutnya dipimpin Raja-Raja: Mahraja Muda Mohammad Nurdin (1870-1914), Raja
Alamsyah (1928-1931), Raja Ismail (1931-1933), Raja Hassim (1933-1946). Meski
Deli pernah berekspansi dalam pemerintahan langsung dengan mengirim wakilnya,
yaitu Tengku Sulaiman (1885-1888) dan Tengku Djalaluddin (1914-1928), masa itu
Raja-Raja Padang di Bulian Tebing Tinggi diturunkan kedudukannya oleh Deli
dengan sebutan Wazir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar